pid.kepri.polri.go.id- Penting untuk diketahui, pidana penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Hal ini karena sistem peradilan pidana anak dilaksanakan, salah satunya, berdasarkan asas perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir. Selain itu, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 1 angka 1 UU SPPA menerangkan bahwa sistem peradilan pidana anak/SPPA adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahapan penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Anak Berhadapan dengan Hukum
Dari pertanyaan Anda, kami simpulkan bahwa “anak” dalam hal ini adalah anak yang melakukan tindak pidana. Sebagai informasi, UU SPPA membagi tiga definisi anak yang berhubungan dengan tindak pidana sebagai berikut:
- Anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
- Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
- Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Anak Belum Cukup Umur
Perlu digarisbawahi, batas umur bagi anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis adalah 12 (dua belas) tahun. Dalam hal ini anak yang belum mencapai umur 12 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Jika anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial akan mengambil keputusan sebagai berikut:
- menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
- mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) di instansi terkait, maksimal enam bulan.
Restoratif dan Diversi
Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan restoratif adalah proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait dengan tujuan mencari penyelesaian yang adil bersama-sama dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semua, bukan pembalasan
Sistem peradilan pidana anak meliputi:
- penyidikan dan penuntutan pidana anak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam UU SPPA;
- persidangan anak oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan
- pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.
Diversi dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan dalam lingkup poin a dan b di atas.Diversi adalah adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Adapun tujuan dilakukannya diversi, yaitu:
- mencapai perdamaian antara korban dan anak;
- menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
- menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
- mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
- menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Apabila proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi tidak dilaksanakan, barulah proses peradilan pidana anak dapat dilanjutkan.
Sumber : hukumonline.com
Penulis : Roy Dwi O.
Editor : Firman Edi
Publish : Fredy Ady Pratama