• Sun. Oct 6th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Membangun Empati antara Polri dan Masyarakat Bag II

Bysusi susi

Apr 1, 2022

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Meningkatkan Empati

Perlu diperhatikan bahwa kemampuan empati bukanlah hal yang baru bagi manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Kalau ada beberapa bayi di rumah sakit yang baring berjejer, dan salah seorang mulai menangis, maka yang lain akan ikut menangis. Mengapa? Karena bayi memiliki empati terhadap sesama bayi. Jadi, kita sudah mempelajari empati sejak kita bayi. Ketika ada gempa bumi yang disertai tsunami di Aceh, masyarakat lain di Indonesia dan di luar Indonesia beramai-ramai datang memberikan bantuan kemanusiaan. Mengapa? Karena manusia memiliki empati terhadap penderitaan sesama manusia.

Bahkan, dengan bantuan teknologi komunikasi yang ada sekarang, kapasitas empati manusia dapat disalurkan dengan lebih cepat. Dalam tempo sejam setelah gempa di Haiti, twitter memungkinkan orang menyampaikan musibah tersebut dengan cepat. Dalam waktu dua jam, telepon seluler digunakan menyebarkan berita dan video mengenai musibah tersebut sudah diunggah ke youtube dan dapat dilihat dari berbagai belahan bumi. Dalam waktu tiga jam, masyarakat internasional sudah siap berangkat memberikan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan para korban bencana Haiti.

Oleh sebab itu, seorang pemikir terkenal, Jeremy Rifkin, mengatakan bahwa umat manusia adalah makhluk empati (homo empathicus), dan bahwa peradaban manusia adalah peradaban empati, yang terus berkembang. Empati pada mulainya berkembang di dalam keluarga, kemudian dalam kelompok manusia yang lebih besar seperti suku, dan kemudian berkembang lagi dalam unit yang lebih besar seperti agama. Di dalam era moderen, empati berkembang dalam bentuk negara moderen, dan sedang berkembang dalam konteks global peradaban manusia kontemporer.

Apa yang dapat dilakukan meningkatkan empati di dalam tubuh Polri? Berikut ini beberapa gagasan yang perlu dipertimbangkan.

  1. Mengembangkan empati dalam demokrasi Indonesia. Di atas disebutkan bahwa usaha meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap polisi akan ditentukan suasana dan tingkat kepercayaan secara keseluruhan. Begitu pula, usaha meningkatkan empati di dalam tubuh Polri dan di masyarakat akan dipengaruhi empati di dalam kehidupan demokrasi yang lebih luas. Di sinilah pentingnya membina empati dalam kehidupan demokrasi kita.
  2. Meninggalkan model pemolisian yang terlalu bertumpu pata otoritas (model otoriter). Tindakan anggota polisi sangat memengaruhi apakah empati akan berkembang atau merosot, apakah kepercayaan terhadap polisi akan meningkat atau turun. Jika polisi bertindak semena-mena, menyalahgunakan wewenang, gampang menggunakan kekerasan (termasuk kekerasan senjata), maka empati akan sulit berkembang. Beberapa model pemolisian yang memungkinkan berkembangnya empati di lingkungan Polri dapat dicoba supaya terjadi perubahan positif ke arah pemolisian empati. Salah satu di antaranya adalah model pemolisian demokratis (democratic policing). Model lain adalah mengintegrasikan “restorative justice” ke dalam lembaga Polri.
  3. Mengembangkan empati di dalam tubuh organisasi Polri. Empati bermula dari diri sendiri, dalam hal ini organisasi Polri. Pimpinan Polri di berbagai level dan satuan harus berempati terhadap para bintara, yang merupakan sebagian besar anggota Polri. Pimpinan perlu melindungi dan memberikan arahan yang jelas terhadap bawahan, memberikan perlindungan dan back-up bagi petugas di lapangan, dan bertanggungjawab terhadap kinerja anak buah. Beberapa unsur pengertian empati yang disebutkan di atas, khususnya memahami dan mengembangkan orang lain, perlu menjadi kebijakan pimpinan.
  4. Meningkatkan keterampilan mendengar. Salah satu keterampilan mikro yang diperlukan dalam meningkatkan kepercayaan dan empati adalah mendengar. Polisi harus mengurangi bicara dan memperbanyak mendengar, supaya kapasitas empatinya meningkat. Keterampilan mendengar adalah bagian dari keterampilan berkomunikasi dan karenanya anggota Polri perlu dibekali keterampilan komunikasi efektif.
  5. Ketika patroli, seringlah berhenti dan berbicara dengan warga. Patroli dapat dilakukan dengan berkeliling kota dan desa di atas mobil tanpa berhenti. Tetapi, patroli dapat juga dilakukan sambil berhenti di berbagai tempat yang memungkinkan polisi berbicara secara informal dan akrab dengan warga. Ketika berhenti dan berbicara dengan masyarakat, yang diajak berbicara jangan hanya tokoh masyarakat, tetapi berbagai kalangan, termasuk yang curiga atau kurang mendukung tugas polisi. Selain itu, ketika berbicara dengan warga, anggota polisi perlu meyakinkan warga bahwa anggota Polri bekerja dengan profesional, tanpa pandang bulu, dan penuh rasa hormat terhadap seluruh warga.
  6. Memperbaiki penampilan polisi di masyarakat dalam rangka meningkatkan empati. Salah satu yang perlu ditingkatkan adalah meningkatkan kehadiran dan keterlihatan polisi di masyarakat. Semakin sering polisi tampil dan kelihatan di masyarakat, semakin berkurang kekuatiran masyarakat terhadap tindak kejahatan, dan semakin percaya masyarakat terhadap polisi. Polisi juga dapat mempertimbangkan beberapa aspek penampilan lain: Apakah polisi melakukan patroli dengan naik sedan, naik sepeda, atau jalan kaki? Apakah polisi menggunakan sirene yang suaranya memekakkan telinga atau yang suaranya lebih menenangkan? Apakah polisi mengenakan seragam dan peralatan yang militeristik atau yang lebih simpatik? Kapan polisi wanita, dan bukan polisi laki-laki, lebih tepat dikerahkan dan ditugaskan?
  7. Mendorong meningkatnya empati di lingkungan komunitas lokal. Polisi, melalui tugas pengayoman dan bimbingan masyarakat, dapat meningkatkan empati di masyarakat, baik terhadap sesama anggota masyarakat maupun terhadap anggota dan lembaga kepolisian. Ketika bertemu dengan tokoh masyarakat, polisi dapat membicarakan bagaimana polisi dan tokoh masyarakat dapat bekerja sama meningkatkan kerukunan dan kerjasama sosial di masyarakat. Ini akan mengurangi suasana tidak percaya di antara kedua belah pihak. Ketika pada tahun 1998 dan 1999 terjadi konflik dan kekerasan komunal di beberapa daerah tetangga, Polres Kota Manado dan Polda Sulawesi Utara secara rutin menemui tokoh agama di masjid, gereja, dan pura, dan bersama-sama meningkatkan empati di kalangan komuitas agama.
  8. Meningkatkan perpolisian masyarakat (Polmas). Ada banyak aspek dalam Polmas yang memungkinkan peningkatan empati dan kepercayaan terhadap polisi. Seperti diketahui, trust itu sendiri adalah bagian penting Polmas. Selain itu, ada kemitraan polisi-masyarakat dalam rangka pemecahan masalah. Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) memang banyak yang asal dibentuk dan kemudian tidak aktif. Tetapi, jika diaktifkan, FKPM dan berbagai kegiatannya amat potensial dalam rangka mendorong trust dan empati – baik empati polisi terhadap masyarakat, maupun empati masyarakat terhadap polisi.
  9. Mengadakan pelatihan empati bagi anggota Polri di berbagai level dan unit kerja. Ada keterampilan dan pengetahuan yang dapat dipelajari dan disosialisasikan kepada anggota polri, seperti kecerdasan emosi, manajemen konflik nirkekerasan, pendidikan kemajemukan dan multikulturalisme, dan komunikasi efektif. Pendidikan empati dapat, dan seharusnya, diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan polisi. Boleh juga dicoba pendidikan empati di SPN Negara Bagian Washington, Amerika Serikat, yang tahun lalu para peserta pendidikan diserang dengan pepper spray .

 

Penulis : Joni Kasim

Editor    : Nora Listiawati

Publish : Fredy Ady Pratama