pid.kepri.polri.go.id- Langkah awal Orde Baru dalam proses rekonstruksi sistem demokrasi di Indonesia, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Orde Baru bertujuan untuk meluruskan kembali cita-cita demokrasi Indonesia yang melenceng menjadi kediktatoran dibawah kekuasaan Presiden Soekarno selama masa demokrasi terpimpin (Orde Lama). Salah satu yang dilakukan untuk menghapuskan kediktatoran Orde Lama adalah membatalkan Ketetapan MPRS No. III/1963 yang berisi tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan jabatan presiden kemudian direvisi kembali menjadi jabatan yang elektif (dipilih secara berkala) selama satu periodenya adalah lima tahun. Kemudian keluarnya Ketetapan MPRS No.XIX/1966 yang isinya adalah untuk menentukan tinjauan kembali terhadap produk-produk legislatif di masa Orde Lama, dan atas dasar Ketetapan MPRS itu, Undang-Undang No.19/1964 diganti dengan Undang-Undang No.14/1970 yang isisnya mengmabalikan independensi lembaga yudikatif. Lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) juga dikembalikan hak dan fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif dan Ketua DPR-GR tidak lagi menjadi seorang menteri dibawah Presiden, tetapi memiliki kedudukan yang sejajar dengan Presiden, selain itu hak Presiden untuk mengintervensi Parlemen dicabut. Kebebasan pers dan seni juga dikembalikan, para tokoh partai-partai politik yang dahulu di masa demokrasi terpimpin ditangkap dan diasingkan dibebaskan, salah satunya Soetan Syahrir, tetapi Sjahrir lebih dahulu meninggal sebelum sempat kembali ke Indonesia.
Dibidang ekonomi, Orde Baru juga berusaha untuk mengembalikan sektor ekonomi nasional yang terabaikan selama Orde Lama, salah satunya adalah membuka kran investasi asing sebesar-besarnya untuk melakukan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Salah satunya adalah Freeport-McMoRan yang menanamkan uangnya di Indonesia pada 1967 untuk mengeksplorasi sumber daya emas di Papua (saat itu Irian Jaya).
Masa demokrasi Pancasila menunjukkan keberhasilan dalam politik, hal ini dibuktikan dengan keberhasilan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) secara teratur, yaitu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Adanya pemilu yang teratur memang merupakan tekad awal Orde Baru untuk membangun kembali demokrasi Indonesia, dan ini telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tahun 1969, tepatnya satu tahun setelah Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia pada 1968 atau dua tahun setelah dilantik sebagai Pejabat Presiden pada 1967 dan tiga tahun setelah mendapatkan Surat Perintah Sebelas Maret. Hal ini sesuai dengan slogan Orde Baru yaitu; menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Setelah politik dan ekonomi nasional kembali stabil, lambat laun ternyata telah tercipta sebuah pemusatan kekuasaan kepada Presiden Soeharto. Dominasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia semakin terasa jelas, birokrasi menjadi semakin rumit dan mengekang kebebasan masyarakat, dan juga Golongan Karya berubah menjadi sebuah organisasi politik yang dominan dalam politik Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto secara terang-terangan berubah menjadi sebuah rezim yang otoriter namun kali ini bukan otoritarianisme sayap kiri seperti di era Soekarno, tetapi lebih kepada kediktatoran junta militer, karena militer bisa dimana saja, menduduki jabatan-jabatan publik yang strategis, yang seharusnya dalam demokrasi tidak boleh ada intevensi militer di dalamnya.
Publik mulai menyadari bahwa nilai-nilai demokrasi tidak ada dalam penyelenggaraan pemilu yang diadakan oleh Orde Baru. Misalkan adanya kebijakan fusi partai yang menjadikan semua kelompok nasionalis dilebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia dan seluruh golongan Islamis digabung dalam Partai Persatuan Pembangunan, sementara Golongan Karya tetap menjadi satu organisasi politik non-partai pada saat itu. Kedudukan Golkar yang non-partai ternyata dijadikan kelebihan bagi Orde Baru, karena hanya Golkar saja yang boleh memiliki pengurus hingga ke tingkat desa dan kelurahan, selain itu pemerintah juga menerapkan kebijakan monoloyalitas bagi pegawai negeri untuk mewajibkan mereka memilih Golkar dalam setiap pemilu, hal ini menunjukkan apa yang disebut oleh Miriam Budiardjo sebagai ketidakadilan dalam sistem politik di masa demokrasi Pancasila.
Puncak dari anomali dimasa demokrasi Pancasila adalah merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (disingkat KKN) dan pembangunan ekonomi tidak dirasakan oleh rakyat yang kemudian menimbulkan masalah kemiskinan seperti di akhir-akhir masa demokrasi terpimpin. Akibatnya adalah kelompok-kelompok yang anti terhadap Presiden Soeharto semakin menguat, terutama kelompok intelektual seperti mahasiswa dan pemuda. Kelompok mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung melakukan aksi demonstrasi menuntut agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Indonesia. Akhirnya karena terus menerus diterpa gelombang demonstrasi yang menunutnya untuk mundur dan kehilangan kepercayaan dari orang-orang terdekatnya, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan mundur pada 21 Mei 1998 atau yang dikenal sebagai Reformasi 1998 yang sekaligus menandai akhir dari era demokrasi Pancasila.
sumber : grid.id, wikipedia.com, tbnewskepri
Penulis : Roy
Editor : Firman Edi
Publisher : Fredy A.P.