https://pid.kepri.polri.go.id/
Adab Mengutangkan
Islam tidak hanya menganjurkan kita untuk memberikan pinjaman bagi yang membutuhkan. Lebih dari itu, Islam juga mengajarkan kita etika-etika dan akhlak mulia ketika mengutangkan. Di antaranya sebagai berikut:
- Menunggu Sampai Mampu Kadang-kadang, orang yang berutang tidak selamanya bisa membayar tepat waktu. Bisa jadi karena terkena musibah, ada kebutuhan yang sangat mendesak, dipecat dari pekerjaan atau alasan lainnya. Maka, ketika itu terjadi, Islam mengajarkan kita sebagai pemberi utang untuk memberikan dia waktu tambahan sampai benar-benar mampu dan punya harta untuk membayar. Jangan sampai kita paksapaksa padahal tidak ada sepeser pun uang yang dia punya untuk membayar. Allah جل جلاله berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 280:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.”
Imam Ahmad dalam kitabnya al-Musnad, meriwayatkan hadis yang menjelaskan ganjaran bagi orang yang memberikan tambahan waktu pelunasan bagi orang yang belum mampu membayar utang sampai benar-benar mampu.
Dari Abu al-Yasar bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Barang siapa yang menangguhkan (waktu pembayaran) bagi orang yang mengalami kesulitan atau merelakan (utangnya), Allah akan naungi dia di bawah naungan-Nya.” Mu’awiyah berkata, “Di saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah.”
- Memutihkan Utang Pada level berikutnya, kita bukan hanya dianjurkan untuk menangguhkan waktu pelunasan bagi yang sedang dalam keadaan sulit. Tetapi lebih baik dari itu jika kita bersedia untuk merelakan utang tersebut. Ya, merelakannya begitu saja tanpa berharap untuk dikembalikan. Tentu orang yang berutang akan sangat merasa terbantu. Apalagi jika utang tersebut tidak terlalu urgent bagi kita. Dan inilah yang difirmankan oleh Allah جل جلاله masih dalam surat alBaqarah ayat 280, lanjutan ayat yang kita bahas di poin sebelumnya
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Di zaman Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم pernah ada kejadian di mana salah seorang sahabat mengalami musibah sehingga utangnya menumpuk dan tidak sanggup lagi untuk membayar. Sampai-sampai Nabi memerintahkan para sahabat yang lain untuk mengumpulkan donasi untuk membantu melunasi utangnya. Sayangnya, donasi yang terkumpul belum cukup untuk melunasi semua utangnya. Akhirnya, Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم memerintahkan kepada orangorang yang diutanginya untuk mengambil pembayaran seadanya, sisanya Nabi perintahkan untuk direlakan saja.
- Menagih dengan Cara yang Baik Jika kita dianjurkan untuk menangguhkan waktu pelunasan, bahkan merelakan utang bagi yang mengalami kesulitan untuk melunasinya. Maka, jika orang itu sebetulnya mampu untuk membayar, kita tetap dianjurkan untuk menagihnya dengan cara yang baik-baik. Tidak boleh kita tagih dengan cara yang kasar, kata-kata yang menyakitkan atau bahkan intimidasi. Karena ini akan merugikan kita di dunia maupun di akhirat. Di dunia kita rugi, karena mungkin dengan berlaku kasar dan menyakitkan ketika menagih, kita akan kehilangan hubungan baik selamanya dengan orang tersebut. di akhirat lebih rugi lagi. Karena yang seharusnya kita dapat pahala karena mengutangkan, pahala tersebut hangus hanya karena kita kurang ‘elegan’ dan kurang beretika ketika menagih.
Dari Jabir bin Abdullah r.a, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allah جل جلاله menyayangi orang yang bermurah hati ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih.
Adab Berutang
Jika bagi orang yang mengutangkan saja ada etika yang harus diperhatikan, apalagi bagi orang yang berutang. Karena biasanya, justru sumber permasalahan berasal dari orang yang berutang. Terkadang orang tidak mau mengutangkan bukan karena pelit atau tidak punya uang. Tetapi dia hanya ingin terhindar dari cekcok dan konfrontasi dengan si peminjam ketika menagih utang. Sebab terkadang orang ketika ditagih bisa lebih galak daripada yang menagih. Padahal ketika berutang, wajahnya memelas seolah menjadi orang paling menderita di dunia. Oleh karena itu, Islam juga mengajarkan kita untuk memperhatikan hal-hal berikut ketika kita berutang kepada orang lain.
- Yakin Mampu Bayar Islam menganjurkan, agar jangan sampai kita berutang sebelum kita yakin bahwa kita mampu untuk membayarnya di kemudian hari. Jangan sampai kita berutang tanpa perhitungan. Yang penting berutang dulu, urusan bisa melunasi atau tidak itu belakangan. Sebab perkara utang bukanlah perkara sepele. Utang yang kita pinjam, adalah hak orang lain yang harus kita kembalikan. Menyepelekan pelunasan utang sama saja dengan menyepelekan hak orang lain. Sedangkan urusan hak antar sesama manusia adalah urusan yang tidak hanya berhenti di dunia, tetapi perkaranya akan berlanjut dan diserahkan berkasnya ke pengadilan di akhirat kelak.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, (dan) ingin melunasinya, niscaya Allah akan melunaskan atasnya dan barangsiapa yang mengambil (dan) ia ingin menghilangkannya niscaya Allah menghilangkannya.”
- Membayar dengan yang Lebih Baik Salah satu akhlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم ketika berutang adalah melunasinya dengan yang lebih baik. Rasulullah صلى الله عليه وسلم diriwayatkan pernah berutang seekor unta muda kepada salah seorang sahabat bernama Abu Rafi’. Ketika tiba saatnya melunasi, Rasul bayar dengan unta yang lebih besar dan lebih mahal. karena sebaik-baik manusia itu adalah orang yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Muslim).
Tetapi yang harus diperhatikan adalah jangan sampai nilai tambah yang kita berikan pada saat kita melunasi, dijanjikan atau disyaratkan dan disepakati di awal. Justru itu diharamkan, sebab termasuk riba. Nilai tambah yang dianjurkan adalah yang kita berikan pada saat melunasi utang, atas inisiatif kita sendiri sebagai peminjam, yang diberikan sebagai rasa terima kasih kepada orang yang mengutangi, tanpa ada kesepakatan sebelumnya.
- Tidak Menunda Pembayaran Salah satu penyakit yang sering menjangkiti orang yang berutang adalah penyakit malas bayar. Walaupun sebetulnya mampu, tapi sering kali merasa bahwa membayar utang adalah hal yang tidak perlu diprioritaskan. Lebih baik dipakai dulu untuk jalan-jalan, beli barang favorit atau untuk hal lain yang sebetulnya tidak teralu penting. Sedangkan kewajibannya untuk membayar utang dilupakan begitu saja. Ketika ditagih bilangnya belum ada, tetapi di media sosial tiada hari tanpa upload foto jalan-jalan, makan di restoran mahal, belanja di mall dan lain sebagainya. Dia lupa padahal orang yang diutanginya termasuk ke dalam salah satu friendlist-nya. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bahkan menyebut kelakuan orang yang menunda-nunda pembayaran utang padahal dia mampu sebagai sebuah perbuatan zalim.
Dari Abu Hurairah ra bahwasa Rasulullah SAW bersabda: “Mengulur-ngulur waktu pembayaran hutang oleh orang yang mampu merupakan perbuatan zalim. Dan jika salah seorang di antara kalian diikutkan (dialihkan hutangnya) kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya, Mencatat Utang Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, Islam menganjurkan untuk mencatat utang.
Sumber : http://eprints.radenfatah.ac.id/
Penulis : Fredy Adi Pratama
Editor : Firman Edi
Publisher : Firman Edi