pid.kepri.polri.go.id- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional RI, psikopat adalah orang yang karena kelainan jiwa menunjukkan perilaku yang menyimpang sehingga mengalami kesulitan dl pergaulan.
Terkait dengan kejiwaan, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf:
- Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan ‘pencabutan nyawa’ yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [“KUHP”]).
- Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP)
Untuk mengetahui apakah psikopat termasuk suatu penyakit yang bisa dipersamakan dengan tidak waras atau gila seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, kita merujuk pada pendapat seorang ahli viktimologi dari California State University, Amerika Serikat dan Direktur Tokiwa Intenational Victimology Institute, Jepang, John Dussich.
Dalam artikel John Dussich: Psikopat Tak Berarti Layak Dihukum Mati, John mengatakan bahwa hampir semua psikolog forensik tidak yakin psikopat itu konsep yang valid. Dalam psikopatologi ada yang disebut MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang merupakan cara untuk mengidentifikasi personalitas kejiwaan. Memang, ada satu skala yang disebut psikopat, tetapi ini kategori miscellaneous, tidak terlalu dianggap.
Lebih lanjut dikatakan bahwa psikopat juga bukan kegilaan. Kalau orang itu sakit jiwa, itu kategori sendiri, disebut psikotik. Hal penting untuk diperhatikan apakah orang ini bisa berpikir secara rasional. Kalau tidak bisa berpikir rasional, maka harus diletakkan di rumah sakit jiwa. Itu bisa jadi dasar pemaaf.Intinya jangan menghukum berdasarkan label psikologis. Hukuman harusnya hanya diberikan berdasarkan berat ringannya kejahatan yang dilakukannya, bukan karena label psikopat.
Sumber : https://www.hukumonline.com/
Penulis : Juliadi Warman
Editor : Firman Edi
Publisher : Firman Edi