• Thu. Oct 24th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Faktor Penyebab Kenakalan dan Kriminalitas Anak Bag II

Bysusi susi

Oct 11, 2022

Kepri.polri.go.id – 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang besar pengaruhnya terhadap anak dengan kriminalitas adalah keluarga dalam hal ini kondisi lingkungan keluarga. Kondisi lingkungan keluarga pada masa perkembangan anak dan remaja telah lama dianggap memiliki hubungan dengan munculnya perilaku antisosial dan kejahatan yang dilakukan oleh remaja. Beberapa penelitian mengenai perkembangan kenakalan dan kriminalitas pada remaja, ditemukan bahwa tindak kriminal disebabkan adanya pengalaman pada pengasuhan yang buruk. Ketiga pola asuh orang tua terhadap anak yaitu pola asuh autoritarian, permissive dan univolved ini menyebabkan seorang anak berperilaku anti sosial.

Pada pola asuh otoritarian, orang tua menerapkan disiplin yang sangat kaku dan terkadang penuh dengan kekerasan, tidak jarang anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, menyia-nyiakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri yang rendah. Tidak hanya itu, anak juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial. A Budi (2009) menemukan bahwa pola asuh authoritarian orangtua mempunyai hubungan positif yang sangat signifikan dengan agresivitas pada anak binaan lembaga pemasyarakatan anak Kutoarja Jawa Tengah. Pola asuh otoriter yang diberikan oleh orang tua atau sikap negatif yang ditunjukkan oleh orang tua berupa kedisiplinan yang keras, kemarahan dan kekerasan yang ditunjukkan orang tua dalam pengasuhan dengan perilaku antisosial remaja.

Pola asuh yang dikategorikan sebagai pola asuh permisif indulgen, atau pola asuh neglected parenting atau ada juga yang menerapkan pola asuh otoritarian itu tidak ada pengembangan internalisasi nilai-nilai moral sebagai dasar terbentuknya pertimbangan moral dan hati nurani. Sehingga menurut Evans, Nelson, Porter dan Nelson (2012), dapat mempengaruhi munculnya perilaku antisosial pada anak. Penelitian Torrente dan Vazsonyi (2008) juga menunjukkan bahwa pengasuhan yang diberikan oleh ibu memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap munculnya perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh anak. Ketika ibu tidak memberikan pengasuhan yang tepat, tidak memberikan perhatian yang cukup pada anak tentang kegiatan di sekolah atau kegiatan dengan temannya dapat memicu terbentuknya perilaku kenakalan dan tindak kriminal pada anak.

Ketika anak mengalami pengasuhan yang buruk, kasar, disia-siakan dan ada kekerasan di dalam keluarga saat anak dalam masa perkembangan awal anak-anak, maka anak akan memiliki harga diri yang rendah, juga akan mengembangkan perilaku kekerasan tersebut pada saudaranya dan juga mengembangkan perilaku antisosial. Kemudian pada saat anak-anak mulai masuk di lingkungan sekolah, anak dengan harga diri yang rendah akan mendapatkan isolasi dari kelompok sebayanya dan mengalami kesulitan dalam sekolah, membolos, serta mengalami kegagalan dalam kegiatan akademik di sekolah. Anak-anak tersebut kemudian berkembang menjadi remaja yang memiliki kecenderungan untuk berasosiasi dalam geng, dan kelompok sebaya yang menyimpang, serta pengarahan diri dalam kekerasan, karena menganggap teman sebaya seperti itulah yang dapat menerima kondisi mereka.

Saat mereka beranjak dewasa, mereka akan meneruskan perilaku kekerasan, penerimaan dan kekerasan dalam hubungan pribadi, dan berkelanjutan dalam siklus kekerasan ketika mereka menikah dan menerapkan pola asuh yang mengandung unsur kekerasan pada anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya akan berkembang menjadi individu yang melakukan kenakalan dan tindakan kriminal. Hal tersebut serupa dengan penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku agresi atau kekerasan memiliki kontribusi secara genetik atau diturunkan oleh orangtua pada anaknya terutama dalam perilaku antisosial. Pola hubungan di dalam keluarga antara orangtua dan anak yang buruk juga bersifat genetik atau diturunkan. Mekanisme perkembangan perilaku antisosial di atas berbentuk siklus, sehingga tindakan kekerasan atau pengasuhan yang tidak tepat oleh orang tua akan membentuk rantai siklus perkembangan yang menyebabkan anak melakukan perilaku kekerasan atau bahkan tindakan kriminal.

Tekanan yang ada dalam kelompok sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Dan berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa anak-anak terjerat kasus hukum baik kasus asusila, narkoba, pembunuhan maupun perampokan dan pencurian dikarenakan pengaruh dari teman-temannya. Kelompok sosial dan teman sebaya memberikan tekanan yang sangat kuat untuk melakukan konformitas terhadap norma sosial kelompok, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai–nilai personalnya (Baron, Branscombe, dan Byrne, 2011). Konformitas terhadap kelompok, dengan mengikuti perilaku kelompok bertujuan agar anak diterima oleh teman-teman dan kelompok sosialnya (Baron & Byrne, 2005), selain itu perilaku melanggar hukum anak juga dilakukan karena adanya solidaritas sosial yang sangat kuat untuk melindungi dan membela teman kelompoknya. Menurut Hunter, Viselberg dan Berenson (dalam Mazur, 1994), kelompok sosial menjadi kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi kebiasaan merokok dan juga narkoba dan tindak kriminalitas lainnya.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tindakan kriminal ataupun kejahatan, namun perlu disadari, faktor kemiskinanlah yang menjadi modal awal terjadinya tuntutan kebutuhan hidup. Pasalnya dengan hidup dalam keterbatasaan maupun kekurangan akan mempersulit seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik dari segi kebutuhan sandang (pakaian), pangan (makanan), papan (tempat tinggal), juga pendidikan dan kesehatan.
Selain tidak mampu mencapai kesejahteranan, orang yang dalam kondisi miskin sulit mendapat akses pendidikan. Padahal pendidikan adalah salah satu modal sosial seseorang dalam pencapaian kesejahteraan, dengan pendidikan syarat pekerjaan dapat terpenuhi. Dengan demikian seseorang yang mempunyai penghasilan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi ekonomis. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan sesorang sulit mendapatkan pekerjaan formal, atau mendapat pekerjaan formal/informal dengan pendapatan yang sangat sedikit/kecil, sehingga kebutuhan dasarnya tidak dapat dipenuhi. Keadaan ini, seringgali menjadi pendorong keterlibatan Anak dalam tindak kriminalitas.

Dalam belajar sosial (Bandura dalam Sandrock, 2003), fungsi role model sangat penting. Namun pada saat role model yang tampil di media-media elektronik maupun sosial mempertontonkan perilaku negatif yang bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat, misalnya klip musik, iklan, film atau sinetron menampilkan adegan seks bebas, perselingkuhan, kekerasan, transgender, pembunuhan dan kriminalitas. Hal itu dapat menjadi faktor pendorong Anak/Remaja untuk mencoba-coba atau menirunya. Selain itu, perilaku negative yang terus menerus ditampilkan di media massa, juga dapat dianggap sebagai perilaku yang benar secara sosial dan dan menjadi model peran yang ditiru oleh Anak/Remaja.

 

Sumber            : Mediaonline.com

Penulis             : Joni Kasim

Editor              : Nora Listiawati

Publish            : Juliadi Warman