• Sun. Oct 6th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Nonton Film Porno Dapat Dijerat UU Pornografi

ByNora listiawati

Jan 29, 2024

pid.kepri.polri.go.id- Sebelum mengulas perihal nonton film porno, mari kenali dulu definisi dari pornografi.

Topo Santoso dalam Pornografi dan Hukum Pidana menerangkan bahwa istilah pornografi berasal dari kata pornographs yang berasal dari Yunani. Porne berarti ‘pelacur’ dan graphein berarti ‘tulisan atau lukisan’. Jika digabungkan, maknanya adalah tulisan, gambar, atau deskripsi tentang pelacuran

Lebih lanjut, Topo Santoso menerangkan bahwa berdasarkan teori Marra Lanot, ada tiga definisi pornografi. Pertama, dari sudut pandang konservatif. Dari sudut pandang ini, semua penggambaran telanjang dapat disimpulkan sebagai pornografi (hal. 514).

Kedua, dari pendekatan liberal. Berdasarkan pendekatan ini, pornografi dianggap sebagai sesuatu yang baik-baik saja karena merupakan aspek dari seksualitas. Seks itu manusiawi dan tidak bisa dihilangkan dari kehidupan. Pendekatan ini biasanya didukung oleh para penulis dan seniman yang melakukan visualisasi akan karyanya, seperti pelukis atau pembuat film.

Ketiga, pendekatan feminis yang muncul di tahun 70-an dan 80-an. Para feminis menganggap ketelanjangan adalah sesuatu yang biasa saja sepanjang hal itu berada dalam konteks keindahan dan merupakan satu kesatuan arti. Bagi feminis, pornografi adalah presentasi baik secara verbal maupun gambar dari perilaku seksual yang merendahkan atau kasar dari satu atau lebih pelaku.

Tiga pendekatan ini dinilai Andi Hamzah kurang sesuai dengan keadaan di Indonesia. Andi Hamzah dalam Pornografi dalam Hukum Pidana: Suatu Studi Perbandingan menerangkan bahwa pornografi berarti dua hal, yakni suatu pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi; dan suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan (gambar) tentang kehidupan erotik dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada yang melihat atau membacanya (hal. 7).

Aturan mengenai pornografi dimuat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (“UU Pornografi”).

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Sehubungan dengan pertanyaan Anda, apakah nonton film porno dilarang? Tidak ada peraturan perundang-undangan yang “melarang” seseorang nonton porno atau nonton film porno. Akan tetapi, sejatinya konten berbau seks, termasuk nonton video porno, adalah tabu bagi masyarakat karena bertentangan dengan norma kesusilaan.

Jika nonton langsung video porno tidak “dilarang”, lantas unsur apa yang bisa diancam pidana berdasarkan UU Pornografi? Ada sejumlah larangan dan pembatasan terkait pornografi dalam UU Pornografi, antara lain:

  1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
    1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
    2. kekerasan seksual;
    3. masturbasi atau onani;
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    5. alat kelamin; atau
    6. pornografi anak.
  2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
    1. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    2. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
    3. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
    4. menawarkan atau mengiklankan layanan seksual, baik langsung maupun tidak langsung.

Lebih lanjut, beberapa larangan lainnya adalah sebagai berikut.

  1. Dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi.
  2. Dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi.
  3. Dilarang mendanai atau memfasilitasi pornografi.
  4. Dilarang menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
  5. Dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
  6. Dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, nonton film porno saja tidak dapat dipidana. Akan tetapi, beda halnya jika setelah nonton film porno, orang tersebut mengunduh videonya ke gawai miliknya.

Apabila orang tersebut nonton film porno atau mengakses situs bermuatan pornografi untuk mengunduh video yang mengandung unsur pornografi dengan tujuan meminjamkannya kepada orang lain, maka orang tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 31 jo. Pasal 5 UU Pornografi yang mengatur larangan bagi seseorang untuk mengunduh konten pornografi dan akibat dari pelanggaran tersebu, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.

Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU Pornografi memang diatur bahwa setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi perlu diperhatikan pula penjelasan pasal tersebut yang menerangkan bahwa larangan “memiliki atau menyimpan” tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.

Ini berarti jika seseorang nonton film porno dan menyimpan video yang termasuk kategori pornografi, maka orang tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 6 UU Pornografi, apabila ia hanya menonton film porno dan menyimpan konten tontonannya untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingannya sendiri.

Sebagai informasi, pelanggaran atas Pasal 6 UU Pornografi diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 32 UU Pornografi.

Sumber            : hukumonline.com

Penulis             : Fallas F.

Editor              : Firman Edi

Publish            : Fredy Ady Pratama