• Mon. Oct 7th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Mewujudkan Polri Yang Dimiliki Masyarakat Bag I

Bysusi susi

Apr 4, 2022

Tribratanews.kepri.polri.go.id – Babak baru perjalanan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia dimulai setelah sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang menetapkan TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR / 2000, tanggal 18 Agustus 2000, tentang Pemisahan dan Peran fungsi TNI- POLRI. Polri sebagai alat negara berperan penting dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam UU RI No 2 th 2002 Pasal 5 ayat (1).

Sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan kenegaraan di Indonesia, telah terjadi pengingkaran terhadap jatidiri Polri yang sebenarnya, yang bermuara pada terbentuknya budaya Polri yang buruk. Bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan. Padahal ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (“Sicherheitspolitizei”). Jadi, kepolisian merupakan subordinasi dari masyarakatnya, sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure) dari kepolisian.

Dengan berdasar tuntutan suara nurani, momentum reformasi ini merupakan peluang bagi Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik. Berdasar latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut pembangunan budaya Polri baru yang berorientasi publik, yaitu reorientasi paradigmatik, guna mewujudkan Polri yang dimiliki, dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat.

Reorientasi Paradigmatik (Upaya Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Publik)

Di Indonesia, faktor yang ikut mempengaruhi fungsi, tugas dan peranan Polri adalah faktor historis, salah satunya yakni karakter kepolisian yang terlanjur dipengaruhi oleh sifat militer. Integrasi kepolisian dalam organisasi ABRI di masa lalu telah mengundang berbagai kritik, karena polisi menjadi lebih sering menggunakan cara berfikir dan bertindak secara militer. Padahal antara polisi dengan militer memiliki karakteristik tugas yang berbeda. Militer berhadapan dengan musuh, sedangkan polisi berhubungan dengan masyarakat. Hal ini menimbulkan kontradiksi oleh karena doktrin kerja dan kekuasaan polisi yang besar, gezagdualisme telah membentuk pola perilaku polisi sebagai penguasa dalam masyarakat. Dampak pemiliteran dan lemahnya kemampuan kepolisian menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

Tekad Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa perkembangan lembaga kepolisian berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan masyarakat tersebut terhadap kemampuan polisinya. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah Polri yang baru yaitu Polri yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme khas kepolisian, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas kepolisian utamanya tugas penegakan hukum.

Dalam mensikapi proses reformasi dan tuntutan masyarakat dan sebagai upaya mengembalikan Polri sebagai polisi yang mandiri dan profesional, Polri telah melakukan reorientasi paradigmatik melalui penetapan visi, misi dan tujuan Polri masa depan, yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah perubahan, baik pada tataran konsepsi maupun teknis operasional. Melalui paradigma baru ini akan dikembangkan suatu tipe “Perpolisian Berperikemanusiaan (human policing)”, yaitu ruang yang menggunakan “humanistic scenario” yang menggantikan “repressive scenario” yang digunakan selama ini. Dalam operasionalnya akan terimplementasi melalui jati diri yang mempersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni.

Salah satu filosofi dan strategi yang sedang diterapkan di berbagai negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah community policing. Setelah cukup lama melakukan uji coba implementasi Polmas di berbagai Polda maka sejak tanggal 13 Oktober 2005 Polmas secara resmi menjadi kebijakan yang harus diterapkan oleh seluruh jajaran Polri. Hal ini dinyatakan dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol. SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri. Puncak implementasi Polmas adalah pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) pada tingkat satuan operasional kewilayahan Polri sebagai wadah komunikasi, konsultasi, transparansi, dan akuntabilitas Polri dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian diharapkan perpolisian akan berorientasi pada kepentingan dan harapan warga, serta mendapat dukungan warga. Hal ini membuktikan bahwa fungsi dan peran FKPM adalah merupakan bentuk akuntabilitas operasional Polri pada masyarakat tingkat Kecamatan/Polsek dan Kelurahan/Desa, yang berarti FKPM merupakan lembaga akuntabilitas Polri yang langsung pada warga masyarakat yang dilayani oleh berbagai operasional kepolisian. Dengan demikian FKPM juga merupakan wujud aktualisasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan kultur polisi sipil.

 

Penulis : Joni Kasim

Editor : Nora Listiawati

Publish : Juliadi Warman