Jakarta – Direktur Eksekutif Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Fitria Muslih berkomentar mengenai program makan bergizi gratis (MBG). Menurutnya, program makan bergizi gratis perlu diposisikan sebagai investasi Indonesia emas. “Seharusnya, pemerintah jika ingin memposisikan MBG ini sebagai prioritas, harus dilihat sebagai investasi untuk mencapai Indonesia Emas, bukan sekadar menempatkan MBG sebagai janji politik,” kata Fitria dilansir dari Antara, Kamis (20/2/2025).
Menurutnya, makan bergizi gratis harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Apalagi, program makan bergizi gratis perlu dana yang besar. Ia menambahkan apabila program makan bergizi gratis ditempatkan sebagai investasi jangka panjang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia maka diperlukan kerangka kerja yang jelas mengenai indikator capaian dari program tersebut. “Program itu harus dilihat sebagai investasi jangka panjang. Tidak hanya sekedar menghabiskan (anggaran), kemudian tidak jelas output-nya, indikator capaiannya seperti apa dan sebagainya,” kata dia. Instruksi Prabowo terkait efisiensi anggaran, yang salah satunya untuk mendanai program makan bergizi gratis, katanya, merupakan momentum yang baik untuk memastikan efektivitas penggunaan uang rakyat. “Saya kira kita mendukung, ya, dengan adanya efisiensi, tetapi harus jelas bagaimana transparansi dan akuntabilitas,” kata Fitria. Luhut Pasang Badan buat Asta Cita Prabowo Prabowo sebelumnya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang meminta anggaran pemerintah pada APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 dipangkas sebesar Rp 306,69 triliun. Sementara itu, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) Indonesia Medelina K. Hendytio mewanti-wanti supaya program makan bergizi gratis tidak menjadi program yang tersentralisasi. Menurutnya, di negara yang memiliki kondisi geografis yang besar, program pemerintah sebaiknya dilakukan secara partisipatoris dengan melibatkan partisipasi publik. “Penanganan MBG dengan secara terpusat ini mungkin perlu dipikirkan ulang, bagaimana bisa memanfaatkan institusi ataupun lembaga-lembaga yang selama ini ada, baik di pusat maupun di daerah, seperti Puskesmas kemudian sampai tingkat kelurahan, sehingga kesan sentralistis itu bisa dihindari dan meningkatkan partisipasi publik,” katanya.