Kepri.polri.go.id – Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan
(interferensi),yaitu:
Gangguan terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik (data interference – Pasal 32 UU ITE);
Gangguan terhadap Sistem Elektronik (system interference –Pasal 33 UU ITE);
Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34 UU ITE);
Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik (Pasal 35 UU ITE);
Tindak pidana tambahan (accessoir Pasal 36 UU ITE); dan
Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana (Pasal 52 UU ITE).
Pengaturan Tindak Pidana Siber Formil di Indonesia
Selain mengatur tindak pidana siber materil, UU ITE mengatur tindak pidana siber formil, khususnya dalam bidang penyidikan. Pasal 42 UU ITE mengatur bahwa penyidikan terhadap tindak pidana dalam UU ITE dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan ketentuan dalam UU ITE. Artinya, ketentuan penyidikan dalam KUHAP tetap berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam UU ITE. Kekhususan UU ITE dalam penyidikan antara lain:[1]
Penyidik yang menangani tindak pidana siber ialah dari instansi Kepolisian Negara RI atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) Kementerian Komunikasi dan Informatika;
Penyidikan dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau keutuhan data;
Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana;
Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sistem elektronik, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
Ketentuan penyidikan dalam UU ITE dan perubahannya berlaku pula terhadap penyidikan tindak pidana siber dalam arti luas. Sebagai contoh, dalam tindak pidana perpajakan, sebelum dilakukan penggeledahan atau penyitaan terhadap server bank, penyidik harus memperhatikan kelancaran layanan publik, dan menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum sebagaimana diatur dalam UU ITE dan perubahannya. Apabila dengan mematikan server bank akan mengganggu pelayanan publik, tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.
Adapun prosedur untuk menuntut secara pidana terhadap perbuatan tindak pidana siber, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:[2]
Korban yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE.
Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI.
Selain UU ITE, peraturan yang menjadi landasan dalam penanganan kasus cybercrime di Indonesia ialah peraturan pelaksana UU ITE dan juga peraturan teknis dalam penyidikan di masing-masing instansi penyidik.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
Penulis : Joni Kasim
Editor : Nora Listiawati
Publish : Juliadi Warman