PID.kepri.polri.go.id – Tindakan Anarkis saat Demonstrasi
Pada dasarnya kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional yang dilindungi Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Lebih lanjut, kemerdekaan berpendapat di muka umum tersebut diatur ke dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”). Demo yang Anda maksud kami asumsikan sebagai unjuk rasa atau demonstrasi, yang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.[1]
Pasal 23 huruf e Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 7/2012”) kemudian menyatakan bahwa kegiatan penyampaian pendapat di muka umum dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran apabila berlangsung anarkis, yang disertai dengan tindak pidana atau kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dan kejahatan terhadap penguasa umum.
Sedangkan anarkis yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang mengakibatkan kekacauan, membahayakan keamanan umum, mengancam keselamatan barang dan/atau jiwa, kerusakan fasilitas umum, atau hak milik orang lain.[2]
Prosedur Penindakan Pelaku Anarkis saat Demonstrasi
Pelaku pelanggaran dan perbuatan anarkis dapat ditindak secara hukum.[3] Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan mencakup:[4]
- menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan, persuasif, dan edukatif;
- menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhirsetelah upaya persuasif gagal dilakukan;
- menerapkan penindakan hukumsecara profesional, proporsional, dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi;
- dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya mengumpulkanbukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di kemudian hari; dan
- melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi.
Akan tetapi, dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, dengan pertimbangan kemungkinan akan terjadi kerusuhan yang lebih luas atau dapat memicu kerusuhan massa, maka tindakan penegakan hukum tetap dilaksanakan setelah situasi kondisi memungkinkan dilakukan penindakan.[5]
Selanjutnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang perlu diperhatikan pihak kepolisian selama melakukan penanganan tindakan anarkis. Pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, tidak dilakukan tindakan kekerasan, dan pelecehan seksual.[6] Sementara itu, polisi yang melakukan tindakan upaya paksa harus menghindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, antara lain:[7]
- tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan tindakan kekerasan, dan menghujat;
- keluar dari ikatan satuan atau formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan;
- tidak patuh dan taat kepada perintah penanggungjawab pengamanan di lapangan sesuai tingkatannya;
- tindakan aparat yang melampaui kewenangannya;
- tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; dan
- melakukan perbuatan lain yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidikan perkara penyampaian pendapat di muka umum dapat dilakukan dengan prosedur:[8]
- penindakan tilang;
- tindak pidana ringan;
- penyidikan perkara cepat; dan
- penyidikan perkara biasa.
Prosedur penyidikan perkara biasa dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat barang bukti terkait pelanggaran berupa demonstrasi yang anarkis, prosedur penyitaan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]
Sanksi Pidana
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]
Salah satu pasal yang dapat menjerat pelaku perusakan fasilitas umum adalah Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang selengkapnya berbunyi:
Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
Tentang pasal ini, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 147), kekerasan yang dimaksud harus dilakukan di muka umum karena kejahatan ini memang dimasukkan ke dalam golongan kejahatan ketertiban umum.
Sebagai informasi tambahan, di samping pelakunya dapat dijerat pidana berdasarkan KUHP, perbuatan tersebut juga dilarang di dalam peraturan daerah. Sebagai contoh di Jakarta yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI Jakarta 8/2007”).
Pasal 54 Perda DKI Jakarta 8/2007:
- Setiap orang atau badan dilarang merusak prasarana dan sarana umum pada waktu berlangsungnya penyampaian pendapat, unjuk rasa dan/atau pengerahan massa.
- Setiap orang atau badan dilarang membuang benda-benda dan/atau sarana yang digunakan pada, waktu penyampaian pendapat, unjuk rasa, rapat-rapat umum dan pengerahan massa di jalan, jalur hijau, dan tempat umum lainnya.
Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 54 ayat (1) di atas, dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana kejahatan.[11]
Sumber : Mediaonline.com
Penulis : Fredy Ady Pratama
Editor : Firman Edi
Publish : Joni Kasim