• Thu. Oct 24th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Faktor Penyebab Kenakalan dan Kriminalitas Anak Bag I

Bysusi susi

Oct 11, 2022

Kepri.polri.go.id – Kenakalan anak erat kaitannya dengan kriminalitas anak, dan menurut Sandrock (2003) kenakalan anak mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti tindakan berlebihan di sekolah, pelanggaran-pelanggaran seperti melarikan diri dari rumah sampai pada perilaku-perilaku kriminal. Kenakalan anak tidak hanya tindakan-tindakan kriminal saja, melainkan segala tindakan yang dilakukan oleh anak yang dianggap melanggar nilai-nilai sosial, sekolah ataupun masyarakat. Anak yang berusia 12 sampai dengan 18 tahun (Undang – Undang No. 12 Tahun 2012, merupakan rentang usia yang dalam perspektif psikologi tergolong pada masa remaja yang memiliki karakteristik perkembangan yang mungkin membuat anak sulit untuk melakukan penyesuaian diri sehingga memunculkan masalah perilaku. Anak/remaja Nakal atau kriminal dianggap sebagai anak maladaptive yaitu anak yang tidak dapat melakukan perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma sosial.

Dalam menjawab mengapa seorang Anak melakukan tindak kriminal, maka yang didapatkan bukanlah faktor tunggal melainkan berberapa faktor yang secara bersama-sama menjadi sebab terjadinya kriminalitas Anak, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam konteks internal, yang mempengaruhi tindak kriminalitas anak adalah kepribadian, konsep diri, penyesuaian sosial, tugas perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah yang rendah. Sedangkan faktor eksternal adalah bagaimana lingkungan keluarga seperti pola asuh, lingkungan sekolah dan lingkungan teman sebaya berpengaruh terhadap anak.

  1. Faktor Internal

Ketika membahas masalah kenakalan atau tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak, hal yang ingin diketahui adalah apa yang melatarbelakangi atau faktor yang menyebabkan anak melakukan tindakan kriminal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku kenakalan oleh anak, merupakan aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak seperti konsep diri yang rendah (Yulianto, 2009), penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap yang berlebihan serta pengendalian diri yang rendah. Konsep diri adalah bagaimana individu memandang dirinya sendiri meliputi aspek fisik dan aspek psikologis. Aspek fisik adalah bagaimana individu memandang kondisi tubuh dan penampilannya sendiri. Sedangkan aspek psikologi adalah bagaimana individu tersebut memandang kemampuan-kemampuan dirinya, harga diri serta rasa percaya diri dari individu tersebut.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Kendal ditemukan bahwa yang menjadi faktor penyebab yang dominan dari siswa-siswa melakukan kenakalan adalah faktor sifat dari remaja itu sendiri (Fuadah, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa siswa-siswa yang melakukan kenakalan dengan kategori rendah (mencontek), sedang (membolos, merokok, memiliki gambar atau bacaan yang berkonten porno), hingga kategori tinggi (seks bebas, minum alcohol, memukul, merusak atau mengambil barang milik orang lain, berkelahi dan tawuran), karena siswa-siswa itu memiliki sikap berlebihan dan memiliki pengendalian diri yang rendah.

Faktor internal berupa ketidakmampuan remaja dalam melakukan penyesuaian sosial atau beradaptasi terhadap nilao dan norma yang ada di dalam masyarakat. Bukti ketidakmampuan anak/remaja dalam melakukan penyesuaian sosial adalah maraknya perilaku kriminal oleh remaja yang tergabung dalam geng motor, membolos serta aksi mereka yang selalu berhubungan dengan tindakan kriminal seperti memalak anak-anak sekolah lain, memaksa remaja lain untuk ikut bergabung dengan geng mereka serta ada beberapa anggota yang pernah melakukan tindakan kriminal pencurian motor. Hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan remaja-remaja tersebut dalam berperilaku adaptif, mereka memiliki kemampuan penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sikap.

Selain hal itu, remaja berada dalam tahapan perkembangan yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dengan tugas perkembangan untuk pencarian jati diri, tentang seperti apa dan akan menjadi apa mereka nantinya (Ericson dalam Sandrock, 2003). Dalam kondisi ini maka anak-anak ini berada dalam tahap perkembangan identity vs identity confusion menurut klasifikasi Ericson (dalam Hurlock, 1998). Bila berhasil maka anak akan mencapai tahap perkembangan dipenuhinya rasa identitas diri yang jelas, dan sebaliknya anak akan mengalami kebingungan identitas bila gagal dalam melewati tahap perkembangan ini.

Pada masa ini anak-anak dan remaja juga sedang berada dalam periode strom dan stress, karena pada tahap perkembangan ini mereka bukan lagi anak-anak yang selalu bergantung pada orang tua dan juga bukan orang dewasa yang sepenuhnya mandiri dan otonom, anak-anak ini masih tergantung pada orang tua terutama dalam hal ekonomi di mana semua kebutuhannya masih harus dipenuhi oleh orang tuanya. Kondisi yang dihadapi oleh anak ini dan juga perkembangan fisik dan hormonal menyebabkan kelabilan emosi karena anak terdorong untuk mencari jati dirinya yang secara otonom bersifat unik dan berbeda dari orang lain. Dalam mengembangkan dirinya, seorang anak membutuhkan model dan model perkembangan untuk masa remaja ini bergeser dari figur otoritas orang deewasa seperti orang tua dan guru bergeser pada sebayanya. Pergeseran model identifikasi dalam mencari jati diri ini juga sebagai akibat dari kebutuhan anak untuk otonom dan lepas dari figur orang tuanya.

Dalam kondisi ini maka kondisi psikologis anak pada saat remaja memiliki karakteristik yang labil, sulit dikendalikan, melawan dan memberontak, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, agresif, mudah terangsang serta memiliki loyalitas yang tinggi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa lingkungan pertama seorang anak adalah lingkungan keluarga, ketika meginjak masa remaja maka anak mulai mengenali dan berinteraksi dengan lingkungan selain lingkungan keluarganya. Pada situasi ini, anak cenderung membandingkan kondisi di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebayanya atau bahkan lingkungan sosial dimana masing-masing lingkungan tersebut memiliki kondisi yang berbeda-beda. Perbedaan berbagai kondisi lingkungan itu, menyebabkan remaja mengalami kebingungan dan mencari tahu serta berusaha beradaptasi agar diterima oleh masyarakat (Sarwono, 2013). Pada saat mengalami kondisi berganda itu, kondisi psikologis remaja yang masih labil, sehingga dapat menimbulkan perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja.

Sumber            : Mediaonline.com

Penulis             : Joni Kasim

Editor              : Nora Listiawati

Publish            : Juliadi Warman