pid.kepri.polri.go.id Dalam hal adaptasi antara fikih dengan undang-udang romawi terdapat pendapat yang pro, kontra, dan netral. Pendapat yang pro yang berpendapat bahwa Islam telah mendapatkan pengaruh undang-undang romawi. Kemudian pendapat yang kontra menyatakan kritik atau menyatakan tidak setuju terhadap pendapat yang pertama yaitu pendapat yang percaya adanya pengaruh undang-undang romawi terhadap fikih Islam.
Pendapat yang netral menyatakan bahwa fikih Islam maupun undang-undang romawi berdiri sendiri. Pendapat yang menyetujui bahwa fikih Islam mendapat pengaruh adalah Ignaz Goldziher dan T. J. De Boer. Keduanya berpendapat bahwa sebagian orang Arab dan orang Islam mengadopsi pendapat barat.
Menurut mereka, setelah orang Islam menaklukkan negara yang memiliki kota-kota kuno timbul kebutuhan yang tidak dijumpai di dalam Islam. Hingga orang-orang Islam mengganti kehidupan arab dengan kebiasaan-kebiasaan atau aturan-aturan yang tidak diterangkan secara eksplisit oleh syariat. Bahkan ketika tidak menemukan suatu teks yang mengarah ke penyelesaian permasalahan maka diambilkan dari beberapa realitas yang bersifat parsial yang tiap harinya selalu bertambah. Sehingga sudah dipastikan undang-undang Romawi telah mendarah daging dan memengaruhi di wilayah Syam dan Irak.
Sehingga menurut dua tokoh ini, fikih Islam telah mendapatkan pengaruh dari adat dan budaya yang berlaku di Romawi. Pernyataan ini didukung oleh pernyataan seorang bernama Amos. Amos adalah seorang orientalis yang sangat fanatik dengan pendapat dua tokoh tersebut, dia berpendapat bahwa syariat Nabi Muhammad Saw tidak lain berasal dari undang-undang Romawi, sebagai sepadan dengan kondisi perpolitikan di kerajaan-kerajaan Arab. Padahal dia adalah orang yang tidak paham atau tidak memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an, sunah, dan peradaban Islam.
Hal itu dikritik oleh Ibnu Khaldun dengan menggunakan teori ilmu sosial dan realitasnya yang menyebutkan bahwa bangsa yang dikuasainya selamanya mengikuti bangsa penguasa. Meski antara fikih dengan undang-undang Romawi ini memiliki kemiripan, tetapi menurut Ibnu, kemiripan antara fikih dan undang-undang romawinya tidak bisa dijadikan indikasi bahwa fikih telah terpengaruh oleh undang-undang Romawi karena pada kenyataannya manusia sering memiliki kesamaan dari warna-warni pemikirannya. Sehingga siapa pun hendaknya tidak bersikap apriori terhadap kemiripan fikih dan undang-undang Romawi sehingga siapa pun tidak perlu menafsirkan bahwa fenomena tersebut sebagai untuk adopsi atau tiruan artinya siapa saja itu tidak berhak mengindikasikan kemiripan Itu adalah sebuah keterpengaruhan atau saling memengaruhi. Karena pada dasarnya fikih dan undang-undang Romawi adalah sesuatu yang berbeda.
Menurutnya, umat muslim tidak merasa butuh untuk mengadopsi undang-undang lain. Karena fikih Islam merupakan sebuah peraturan yang sumbernya itu berasal pada kitabullah dan sunah. Menurut Ibnu Khaldun, undang-undang Romawi yang diduga mendapatkan pengaruh dan mengambil faedah dari Fikih Islam. Kemudian muncul kalangan netral yang menyatakan bahwa Fikih Islam adalah sebuah peraturan atau undang-undang yang independen. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Ahmad Badawi yang merupakan tokoh pakar undang-undang Mesir. Beliau mendefinisikan beberapa bukti, yaitu:
Dalam beberapa permasalahan, kandungan UU romawi tidak sama dengan kandungan fikih. Misalnya dalam undang-undang romawi terdapat aturan adopsi anak. Hal ini tidak ada dalam fikih Islam
Aturan fikih tidak berdasar pada UU romawi. Misalnya di fikih Islam terdapat adanya aturan mengenai larangan menikahi saudara sepersusuan. Aturan-aturan ini tidak didapatkan di dalam undang-undang Romawi sehingga tidak mungkin fikih berdasar pada undang-undang Romawi
Meski ada kesamaan, namun keduanya berbeda pada kaidahnya. Seperti aturan menikah. Di dalam undang-undang Romawi hanya sekali, sedangkan dalam fikih Islam boleh berpoligami. Di atran hukum waris, dalam undang-undang Romawi, wanita memiliki bagian yang sama dengan laki-laki, sedangkan dalam Islam wanita memiliki bagian separuh dari laki-laki. Sehingga tidak ada ketergantungan antara keduanya lainnya
Adanya pengakuan tokoh barat bahwa ada sekat inti antara dua syariat tersebut. Undang-undang Romawi kuno berdiri atas asas formalitas yang menuntut adanya prosedur resmi dan ritual tertentu yang merupakan poros semua aturan-aturannya seperti Ahwal Syakhsiyah dan akad. Dalam agama fikih Islam tidak berdasarkan formalitas.
Kalangan yang mendukung pendapat ini adalah Prof. Dr. Syafiq Syahhatah yang mengungkapkan dalam aspek nilai aturan perundang-undangan, syariat Islam lebih mengukur beberapa prinsip besar daripada undang-undang Romawi.
Kemudian menurut Prof. Dr. As-Sanhuri dan Dr. Hasymat Abu Syatit mengungkapkan bahwa syariat Islam tidak menempuh metode yang ditempuh oleh undang-undang Romawi. Karena undang-undang romawi muncul karena tradisi kemudian tumbuh dan berkembang melalui asas formalitas, sedangkan syariat Islam muncul dari kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dari wahyu Allah, lalu tumbuh dan berkembang melalui qiyas, nalar, dan hukum positif.
Meski hukum fikih berada di beberapa negara pengguna undang-undang Romawi yang ditaklukkan Islam, nyatanya fikih tetap hukum yang independen dan tidak terpengaruh oleh undang-undang Romawi.(sumber kompasiana.com/delatiaraputri)
penulis : Firman Edi
Editor : Nora Listiawati
Publisher : Roy Dwi Oktaviandi