• Sun. Oct 6th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Masyarakat Berhak Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi

ByNora listiawati

Jan 26, 2024

pid.kepri.polri.go.id- Pada dasarnya, setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau jadi korban tindak pidana berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan laporan dan pengaduan yaitu:

  1. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
  2. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
  1. Selanjutnya, disarikan dari Pengaduan dan Pelaporan, Apa Bedanya? laporan dapat disampaikan oleh setiap orang terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya dan terbatas pada tindak pidana yang mempersyaratkan adanya aduan.
  2. Sehingga, memang pada dasarnya, setiap orang berhak melaporkan dugaan adanya tindak pidana ke polisi, kecuali pengaduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang tertentu saja, yang merupakan delik aduan.
  3. Bolehkah Polisi Menolak Laporan Masyarakat?
  4. Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, bolehkah polisi menolak laporan masyarakat? Pasal 3 ayat (3) huruf b Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019  tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”) mengatur:

Pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan Penyidik/Penyidik Pembantu yang ditugasi untuk:

  1. Melakukan kajian awalguna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi; dan

Setelah dilakukan kajian awal, dibuat tanda penerimaan laporan dan laporan polisi.

Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah menerima laporan/pengaduan tindak pidana, penyidik/penyidik pembantu akan melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya laporan/pengaduan tersebut untuk dibuatkan tanda penerimaan laporan dan laporan polisi.

Sehingga, secara hukum, jika penyidik/penyidik pembantu berdasarkan hasil kajian awal menilai tidak layak dibuatkan laporan polisi, maka bisa saja laporan polisi tidak dibuat atas laporan/pengaduan yang diberikan.

Namun demikian, menurut hemat kami, dalam memutuskan tidak dibuatnya laporan polisi atas laporan/aduan yang disampaikan, penyidik yang bersangkutan harus memiliki alasan yang sah menurut hukum, misalnya laporan tidak bisa diterima karena tindak pidana tersebut merupakan delik aduan, sedangkan yang mengadukannya bukanlah orang yang berhak menurut hukum.

Hal ini penting, sebab Pasal 15 huruf a dan f  Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”) mengatur:

Setiap Anggota Polri dilarang:

  1. a) menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakatyang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya;
  2. f)  mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan;

Selain itu, anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang, di antaranya:

  1. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
  3. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
  4. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya.

Terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik Profesi Polisi (“KEPP”) yang dilakukan anggota Polri tersebut, dilakukan penegakan KEPP melalui:

  1. Pemeriksaan pendahuluan, yang dilaksanakan oleh fungsi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Propam Polri”) bidang pertanggungjawaban profesi, dengan cara audit investigasi, pemeriksaan, dan pemberkasan.
  2. Sidang Komisi Kode Etik Polri (“KKEP”), yang dilaksanakan oleh KKEP guna memeriksa dan memutus perkara pelanggaran yang dilakukan oleh terduga pelanggar (anggota Polri yang diduga melanggar kewajiban dan larangan yang diatur dalam KEPP).
  3. Sidang Komisi Banding, yang dilaksanakan oleh Komisi Banding guna memeriksa dan memutus keberatan yang diajukan oleh pelanggar, suami/istri, anak, orang tua atau pendamping.
  4. Penetapan administrasi penjatuhan hukuman, yang dilaksanakan oleh fungsi SDM Polri setelah memperoleh keputusan dari atasan langsung ankum (atasan yang berhak menghukum).
  5. Pengawasan pelaksanaan putusan dan rehabilitasi personel, yang dilaksanakan oleh fungsi Propam Polri yang mengemban bidang rehabilitasi personel.

Anggota Polri yang dinyatakan melanggar KEPP (“pelanggar”) dikenakan sanksi berupa:

  1. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
  2. Pelanggar wajib meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
  3. Pelanggar wajib mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, minimal 1 minggu dan maksimal 1 bulan;
  4. Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi minimal 1 tahun;
  5. Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat demosi minimal 1 tahun;
  6. Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat demosi minimal 1 tahun; dan/atau
  7. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

Sumber            : hukumonline.com

Penulis             : Fallas Fictoven

Editor              : Firman Edi

Publish            : Fredy Ady Pratama