• Tue. Jun 24th, 2025

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Sudah Saatnya Menghentikan Diskriminasi “Agama”

Bysusi susi

Mar 22, 2023

PID.kepri.polri.go.id – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan “agama” penghayat kepercayaan harus masuk dalam catatan administrasi kependudukan. Putusan ini diambil dalam sidang uji materi UU No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (adminduk) yang diajukan beberapa orang perwakilan warga penghayat kepercayaan.

Selama ini, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) hanya mencantumkan enam agama resmi yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sesuai Pasal 64 ayat (2) UU Adminduk disebutkan: Keterangan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

Pada praktiknya, istilah “tidak diisi” itu sering dimaknai dengan tanda strip bukan dikosongkan. Akibat kolom agama yang kosong tersebut, penganut aliran kepercayaan sering mendapatkan diskriminasi. Hasil penelitian Wahid Foundation, mereka biasanya mendapat perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dan pencatatan pernikahan.

Arief Hidayat, Ketua MK saat membacakan amar putusan yang mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, mengatakan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk “kepercayaan”. Hal serupa juga berlaku untuk Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) yang dinilai MK tak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan secara jelas mengatur tentang informasi apa saja yang terdapat di dalam KK, yaitu: kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, dan nama orang tua.

Sementara itu, Pasal 64 ayat (1) mengatur tentang informasi yang mestinya tercantum dalam KTP, yaitu: gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

Putusan MK ini menurut saya merupakan langkah maju untuk mereduksi bahkan menghentikan praktik diskriminasi yang dialami para penghayat kepercayaan. Sebagai catatan, dalam data yang dicatat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan jumlah penganut mencapai 400 ribu jiwa lebih.

Mereka adalah warga negara Indonesia yang sudah seharusnya mendapatkan hak yang sama dengan warga lainnya. Mereka adalah saudara-saudara kita, maka jangan pernah membiarkan mereka terus-menerus menjadi korban praktik diskriminasi hanya gara-gara memiliki keyakinan yang berbeda.

Pemerintah harus merespon putusan ini dengan segera merevisi beberapa pasal dalam UU Adminduk yang memang bernuansa “diskriminasi”. Kedepan, istilah “agama resmi” atau “agama yang diakui” semestinya sudah harus ditinggalkan. Peran negara adalah mengakui, menghargai bahkan melindungi apapun pilihan agama/kepercayaan yang dianut masyarakatnya.

Akhirnya, revisi UU Adminduk harus mampu menegaskan bahwa segala bentuk perbedaan termasuk pilihan kepercayaan adalah fakta keberagaman yang harus bisa kita terima. Sejak awal Indonesia dibangun diatas berbagai keberagaman yang menjadi kekayaan kita. Dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda-beda, namun kita semua bisa hidup rukun berdampingan untuk mencapai tujuan yang sama.

Sumber            : Hukumonline.com

Penulis            : Juliadi Warman

Editor              : Firman Edi

Publish            : Juliadi Warman

Yang Terlewatkan

Polresta Barelang – Polresta Barelang menggelar kegiatan doorstop ekspos kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang viral di media sosial. Kegiatan ini dipimpin langsung oleh Kasat Reskrim AKP Debby Tri Andrestian, S.I.K., M.H., L.i., didampingi oleh Kasihumas Polresta Barelang Iptu Budi Santosa, S.H., dan Kanit VI Sat Reskrim Polresta Barelang Iptu Fransisca Febrina Siburian, S.Tr.K., M.Si bertempat di Lobby Mapolresta Barelang. pada Senin, (23/6/2025) Dalam kegiatan doorstop tersebut, Kasat Reskrim Polresta Barelang menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari viralnya sebuah video berdurasi 10 detik yang memperlihatkan dugaan tindakan kekerasan terhadap seorang asisten rumah tangga di Batam. Video tersebut menyebar luas melalui media sosial Facebook dan memicu keprihatinan publik. Korban dalam kasus ini adalah ITN (22 tahun), yang dilaporkan mengalami kekerasan fisik oleh majikannya R (43 tahun) dan rekannya MLP (20 tahun). Aksi kekerasan tersebut diketahui terjadi berulang sejak Juli 2024 hingga 21 Juni 2025. Selain pemukulan, korban juga mengalami perlakuan tidak manusiawi seperti dipaksa memakan kotoran hewan peliharaan majikannya dan meminum air kloset, serta pemotongan gaji yang tidak wajar. Setelah mendapatkan laporan dari keluarga korban pada 22 Juni 2025, Satreskrim Polresta Barelang segera melakukan penyelidikan dan berhasil mengamankan kedua tersangka pada hari yang sama di Perumahan Bukit Indah Sukajadi, Kota Batam. Barang bukti yang diamankan antara lain raket nyamuk listrik, ember plastik, serokan sampah, kursi lipat, dan tiga buku catatan termasuk yang disebut “buku dosa”. Hasil gelar perkara pada 23 Juni 2025 menetapkan kedua pelaku sebagai tersangka. Keduanya dijerat Pasal 44 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun atau denda maksimal Rp30.000.000,-. Polresta Barelang menegaskan komitmennya untuk menangani kasus kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan anak, secara serius dan profesional. Kasat Reskrim Polresta Barelang juga mengajak masyarakat untuk tidak ragu melapor apabila mengetahui adanya tindakan kekerasan serupa. Pada kesempatan yang sama, Kasi Humas Polresta Barelang Iptu Budi Santosa, S.H. menghimbau masyarakat yang membutuhkan bantuan kepolisian atau ingin menyampaikan pengaduan untuk menghubungi Call Center Polri 110 atau melalui aplikasi “Polisi Super Apps” yang dapat diunduh melalui Google Play dan App Store.