• Tue. Oct 8th, 2024

PID Polda Kepri

Pengelola Informasi & Dokumentasi Polri

Hukuman mati untuk para koruptor

ByNora listiawati

Aug 26, 2022

pid.kepri.polri.go.id-Hukum mengkategorikan tindakan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum. Namun, bagi para politikus dan birokrat korupsi adalah budaya dan habitual. Bukankah tindakan korupsi yang menggerus kesejahteraan dan keadilan rakyat banyak tersebut, lambat laun menjadi bagian tak terpisahkan dari pekerjaan para pelayan publik baik mereka yang memangku jabatan politik (eksekutif dan legislatif) maupun fungsional (birokrat)? Bukankah begitu?

Jadi, kenyataan seperti inilah yang menyebabkan korupsi selalu menjadi persoalan akut di negeri ini. Tidak mengherankan ketika para pelaku korupsi yakni koruptor sepertinya sangat sulit untuk menyadari bahwa tindakan tamaknyalah yang membuat bangsa ini urung menggapai cita-cita dan tujuan luhur negeri ini sebagaimana termaktub Alinea Keempat UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …(baca selengkapnya alinea keempat UUD NRI Tahun 1945 *catatan: tambahan keterangan angka () kursif penulis*).

Nah…gegara para koruptorlah cita-cita dan tujuan luhur bangsa Indonesia menjadi ambyaarrr, menjadi semakin berjarak dari kenyataan pemirsa. Maka dari itu, koruptor yang suka menggerogoti tujuan dan cita-cita berbangsa harus dimusnahkan dengan hukuman mati. Koruptor telah membunuh generasi bangsa dan ini sebenarnya bentuk genosida (pembunuhan massal) tidak langsung dan sudah tentu pelaku pembunuhan massal pantas di hukum mati!.

Koruptor Itu Hama

Kalau diibaratkan; negara seperti sebuah sawah, koruptor adalah hama, petani adalah warga negara dan pemimpin adalah ketua kelompok tani. Sebuah lahan sawah tentu diharapkan menghasilkan panen padi melimpah. Setiap petani hingga ketua kelompok tani pasti selalu mengharapkan demikian. Namun, dalam kenyataannya harapan panen padi melimpah kerap kali dikacaukan oleh binatang-binatang tamak (tikus, belalang, siput dll) yang disebut hama. Hama selalu merusak dan menggagalkan panen sawah itu.

Biasanya para petani hingga ketua kelompok tani mencari cara untuk memusnahkan hama tersebut. Mereka selalu mencoba menyemprotkan cairan-cairan anti hama dengan harapan hama-hama tersebut dapat mati sehingga mereka dapat memanen padi melimpah. Memang sih, banyak dari para petani yang menemukan obat anti hama yang tepat sehingga masih dapat memperoleh hasil panen yang baik meski tidak melimpah. Tetapi tidak sedikit juga yang gagal memusnahkan hama sehingga gagal panen.

Begitu pula dalam konteks bernegara. Setiap warga negara selalu memiliki harapan bahwa ia memperoleh keadilan dan kesejahteraan. Namun malangnya, harapan mereka selalu dihancurkan oleh koruptor yang tidak lain hama tadi. Akibatnya, cita-cita dan tujuan luhur pada keadilan dan kesejahteraan semakin jauh dari kenyataan. Tentu pada titik inilah para pemimpin wajib mencari obat anti hama yang tepat yang berpotensi efektif memusnahkan perilaku korupsi di negara Pancasila ini.

Sebenarnya sudah banyak obat anti hama (baca: hukuman) yang sudah diberikan kepada hama (baca: koruptor). Hasilnya ialah sangat sedikit hama yang mampu dibersihkan. Sementara masih banyak hama yang selalu siap menghancurkan negara ini. Oleh karena itu, negara kita butuh obat anti hama yang tepat. Dan obat itu bernama hukuman mati!

Landasan Hukum Hukuman Mati Koruptor

Sebelum kamu membuntuti dasar hukum dari hukuman mati mbloo, kamu sangat perlu paham bahwa hukuman mati di dalam hukum nasional Indonesia masih berlaku. Jelas ya..jadi kalau kamu misalkan membaca “hukum mati dihapuskan” di beberapa negara (Kenya, Bhutan, Khazakstan dll) maka tidak dengan Indonesia. Mari kita lihat KUHP. Pasal 10 KUHP mengatur tentang jenis hukuman pidana yakni pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut:

  1. Pidana Pokok:

1.Pidana Mati

2.Pidana penjara

3.Kurungan

4.Denda

  1. Pidana Tambahan:

1.Pencabutan hak-hak tertentu

2.Perampasan barang-barang tertentu

3.Pengumuman putusan hakim.

Githu ya mbloo, artinya pidana mati atau umumnya disebut hukuman mati masih relevan dalam sistem hukum kita. Dengan demikian, tidak ada pembenaran yang mengatakan hukuman mati melanggar HAM selama hukuman mati itu menjadi hukum positif (hukum yang berlaku pada ruang dan waktu tertentu; sedang berlaku). Lalu, gimana dengan hukuman mati bagi para koruptor? Mari kita simak rangkaian pernjelasan menurut peraturan perundang-undangan berikut:

Hukuman mati bagi koruptor diatur dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

 

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

*catatan untuk Pasal 2 ayat (1): kata “dapat” yang diberi tanda coret di atas telah dihilangkan melalui putusan MK dalam pengujian Pasal 2 dan 3 UU ini. MK menjelaskan frasa ‘dapat’ dalam pasal 2 (1) dan pasal 3 UU tipikor dinyatakan inkonstitusional. Jadi, frasa “dapat” sudah dihapus dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tersebut. Pertimbangan MK waktu itu bahwa dengan kata “dapat” dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 maka pejabat-penegak hukum dikwatirkan terjadinya satu fakta yang mana “hukum memperlakukan tindakan atau kebijakan yang berbeda atas perbuatan yang sama”. Selain itu, MK juga menerangkan bahwa dengan dihapusnya frasa “dapat” maka hukum dapat menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan kerugian negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi yang diambul bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan. Seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang*

Nah..mari menuju Pasal 2 ayat (2). Dalam bagian Penjelasan dari UU No.31 1999 ini, dijelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Dalam perkembangannya, Penjelasan terhadap frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) di atas kemudian ditambahkan melalui UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal I dalam UU perubahan ini mengatur: Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut: 1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.

Lalu dalam bagian Penjelasan terhadap Pasal 2 ayat (2) dari UU perubahan ini dijelaskan: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

*catatan dari saya terhadap Pasal 1 UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 di atas ialah terkait frasa “substansi tetap”. Menurut saya, substansinya sudah berubah yakni ditambah pengulangan tindak pidana korupsi. Kalau substansinya tetap maka pidana mati terhadap koruptor hanya dapat dijatuhkan kepada koruptor yang melakukan korupsi uang negara yang diperuntukkan untuk keadaan darurat. Tetapi dengan ditambahkan frasa pengulangan tindak pidana korupsi, maka substansinya sudah berubah karena sudah ditambahkan dengan substansi baru. Frasa pengulangan tindak pidana korupsi, bukan “keadaan darurat” melainkan keadaan biasa. Jadi, kalau ada koruptor yang telah dihukum dan melakukan korupsi lagi maka dapat dijatuhi hukuman mati. Ini artinya, sebenarnya tindakan korupsi yang dapat dijatuhi hukuman mati tidak hanya ketika dilakukan dalam “keadaan tertentu” tetapi juga dalam keadaan biasa yakni korupsi yang dilakukan berulang kali*

Jelas ya mbloo…landasan hukum dari hukuman mati bagi koruptor masih berlaku dan tidak ada pembenaran hukum lain sebelum Pasal 10 KUHP dan Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 diubah dan atau dicabut. Seperti yang telah dikemukakan bahwa obat anti hama yang paling tepat adalah hukuman mati.

Alasan Hukuman Mati Susah Diterapkan?

Tahu gak mbloo..“Perdana Menteri China pada tahun 1998, Zhu Rongji pernah menyatakan, “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu”. Pernyataan Zhu Rongji ini merupakan pernyataan yang paling berani dan fenomenal. Berani karena menghapus stigma kompromis dari seorang pemimpin dan politisi sedangkan fenomenal karena prinsip hebat seperti ini amat jarang ditemui; apalagi dalam diri politisi.

China pada masa itu dinilai brutal dalam menjunjung tinggi mimpi dan cita-cita kemajuan negaranya dengan menghukum mati korupor. Tetapi perhatikan akibat yang negara itu rasakan dan nikmati sekarang. Lihatlah China sekarang, negara Komunis itu telah menjadi negara super power di bawah AS. Bukankan itu sangat mengagumkan mblo…daripada kita terjebak pada sejarah hebat China (yang mungkin diharamkan oleh kaum sumbu pendak), sebaiknya mari kita periksa; kira-kira apa alasan utama hukuman mati susah diterapkan di Indonesia, meskipun hukumnya memberlakukan itu.

Dalam ulasan kali ini, saya akan memberikan dua alasan yang tentu menjadi persoalan utama mengapa hukuman mati tidak kunjung di terapkan bagi para koruptor.

Pertama, lembeknya penegakkan hukum.

Corruption Perception Index (CPI) =Indonesia Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) harus diakui semakin membaik. Data yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan adanya penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020. Pada tahun 2019 tercatat mencapai 40 poin, namun tahun 2020 turun menjadi 37 poin. Dengan angka tersebut, Indonesia sekarang menempati peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.

Dalam hal ini, tentu kita tidak boleh menafikan kinerja dari sistem penegakkan hukum kita. Dengan terus menurunnya IPK kita maka berarti penegakkan hukum semakin baik. Namun demikian, apakah berarti koruptor berkurang di negara kita? Saya pikir, tidak begitu mas bro. Koruptor masih banyak; hanya saja banyak juga yang luput dari sensor hukum, yah mungkin mereka-mereka ini mampu mempermainkan hukum kali ya mblo. Penyebabnya memang cukup ironis yakni lembeknya penegakkan hukum.

*Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter untuk menentukan tingkat korupsi sebuah negara yang diketahui melalui survei Transparency International (TI). Ketika sebuah negara mendapatkan nilai 0, maka negara tersebut benar-benar korup. Sedangkan, jika mendapat nilai 100, maka negara itu bebas sama sekali dari korupsi*

Kalau anda sekalian bertanya, bukankah penegakkan hukum kita semakin baik jika dilihat dari data hasil survei sebagaimana dari TII? Yah! Tetapi itu tidak berarti koruptor kita berkurang. Lihatlah politisi elit negeri kita yakni mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara (orang ini berpotensi dijerat hukuman mati). Dua menteri koruptor ini sangat ganas. Bagaimana tidak, mereka melakukan korupsi pada waktu negara dalam keadaan darurat yakni darurat COVID-19.

Naasnya, kasus kedua orang ini belum menemui titik terang sehingga kita sebagai rakyat pasti makin geram dengan cara kerja hukum kita. Adalah hal wajar dan logis ketika publik ramai-ramai mempertanyakan penegakkan hukum kita yang cenderung melakukan pembiaran terhadap kedua mantan anak buah presiden tersebut. Padahal, penegak hukum tidak membutuhkan pertimbangan dan penafsiran yang super ribet jika menangani kasus korupsi yang dilakukan Juliari P Batubara.

Politisi PDI Perjuangan ini, secara hukum yakni jika merunut pada UU 39 Tahun 1999 di atas sudah memenuhi unsur “keadaan tertentu” yakni korupsi anggaran negara untuk keadaan darurat (lihat kembali bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Ini artinya, Juliari P Batubara sudah memenuhi tuntutan Pasal 2 ayat (2) sehingga ia pantas mendapatkan hukuman mati. Tetapi karena penegakkan hukum kita lembek maka hingga kini mantan mensos belum jelas kelanjutan proses hukum terhadap dirinya.

Kedua, politik yang terlalu mendominasi.

Kamu sadar gak kalau kebanyakan proses penegakkan hukum di negeri kita selalu dipengaruhi kepentingan politik? Bahkan, saking canggihnya; kepentingan politik dapat menghalang-halangi proses hukum ataupun dapat menggiring seseorang lawan politik ke penjara. Memang harus diakui, kepentingan politik di negeri kita mudah sekali menguasai hukum. Akibatnya dalam kita berhukum selalu saja kompromis karena kerap kali dipolitisir.

Padahal, terlalu dominasinya politik terhadap hukum dapat menyebabkan hukum pincang dan ketika hukum pincang maka penegakkannya pun akan ikut keok. Saya teringat kata paling sohor dari Mochtar Kusumaatmadja “politik tanpa hukum akan menyebabkan kelumpuhan, hukum tanpa politik akan menyebabkan kezaliman”. Ahli hukum ini hendak menegaskan bahwa hukum dan politik harus saling mengimbangi; harus dapat dikawinkan. Tetapi, keduanya harus memiliki garis batas masing-masing. Artinya tidak boleh dicampur-adukan satu sama lain.

Dominasi politik terhadap hukum di negeri kita kemudian menjadikan sistem penegakkan hukum yang lemah dan tidak efektif. Tarik ulur kepentingan politik para elit sering kali mempengaruhi jalur penegakkan hukum. Dari yang seharusnya hukuman mati bisa berakhir dengan penjara 12 tahun. Dari yang terbukti korupsti dapat dinyatakan bebas. Atau yang sedang di depan mata kita. Kasus Edhy Prabowo dan Juliari P Batubara sekiranya semakin terang menggambarkan bagaimana dominasi politik atas penegakkan hukum.

penulis : Firman Edi

Editor : Nora Listiawati

Publisher : Roy Dwi Oktaviandi