pid.Kepri.polri.go.id – Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Status bapak dan ibu dari anak luar kawin itu tidaklah menikah baik secara siri maupun sah secara hukum negara. Jadi, jalan yang dapat ditempuh agar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya adalah dengan membuktikannya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau melakukan pengesahan anak dengan catatan pasangan tersebut melakukan pernikahan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.
Jika tidak, maka hubungan perdata antara anak dan ayahnya tidak ada. Si ayah juga tidak dapat dipersoalkan secara hukum dengan alasan melakukan “penelantaran keluarga” karena yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan si ibu dan anaknya.
Kemudian mengenai anak sebagai saksi, anak yang umurnya masih di bawah 15 tahun tidak dapat didengar sebagai saksi. Anak-anak di bawah umur 15 tahun tersebut boleh didengar keterangannya dengan tidak disumpah, akan tetapi keterangan mereka itu tidak merupakan bukti kesaksian, melainkan hanya sebagai penerangan saja.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Apabila si ibu ingin suaminya mempunyai hubungan hukum perdata dengan anak yang berstatus anak luar kawin tersebut, ada dua jalan yang bisa ditempuh:
- Pengakuan anak, yaitu pengakuan secara hukum dari seorang bapak terhadap anaknya yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah atas persetujuan ibu kandung anak tersebut. Dengan catatan, pengakuan anak ini hanya berlaku jika Anda dan istri telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.[1]
Caranya:
1) Membuat Surat Pengakuan Anak.
2) Surat Pengakuan Anak tersebut disetujui oleh ibu kandung anak yang bersangkutan.
3) Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 hari sejak tanggal surat pengakuan anak oleh ayah.
4) Surat Pengakuan Anak tersebut kemudian dicatat oleh Pejabat Pencatatan Sipil pada Register Akta Pengakuan Anak dan diterbitkan Kutipan Akta Pengakuan Anak.
- Pengesahan anak, yaitu pengesahan status hukum seorang anak yang lahir di luar ikatan perkawinan yang sah, menjadi anak sah sepasang suami istri. Dalam pengesahan anak kedua orangtua anak tersebut haruslah melakukan perkawinan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.[3]
Caranya:
1) Pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.
2) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak.
Sayangnya berdasarkan keterangan Anda, status bapak dan ibu dari anak luar kawin itu tidaklah menikah baik secara siri maupun sah secara hukum negara. Jadi, jalan yang dapat ditempuh agar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya adalah dengan membuktikannya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau melakukan pengesahan anak dengan catatan pasangan tersebut melakukan pernikahan secara sah terlebih dahulu, baik menurut hukum agama dan hukum negara.
Jika tidak, maka hubungan perdata antara anak dan ayahnya tidak ada. Si ayah juga tidak dapat dipersoalkan secara hukum dengan alasan melakukan “penelantaran keluarga” karena yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan si ibu dan anaknya.
Pengertian “Keluarga”, menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah:
Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
Sumber : KUHP tentang Perlindungan Anak
Penulis : Joni Kasim
Editor : Nora Listiawati
Publish : Juliadi Warman